Hallo sahabat KSJ48, ini postingan pertama ane di blog ini. Moga kalian suka sama ceritannya. Jangan lupa buat komen dibawah. Happy Reading :v
Semua orang berfikir aku adalah wanita beruntung,
dilahirkan dari keluarga kaya raya dan terpandang. Tinggal di rumah gedongan,
dengan pekarangan yang teramat besar, kebutuhanku selalu tercukupi bahkan
terkesan berlebihan. Ayahku seorang CEO sebuah perusahaan, dan ibuku seorang
pegawai negeri sipil. Banyak teman-temanku yang menginginkan kehidupan seperti
ini. Tapi keberuntungan ini tak membuatku bahagia, kamar megah yang aku
tinggali, tak ada seorang pun selain diriku. Dalam sekala 2 jam sekali, hanya
pelayanku yang masuk ke kamar dan menanyakan apa ada yang aku butuhkan (?).
Aku seperti burung yang tak bisa terbang dan terkurung didalam sangkar. Kesibukan orang tuaku, membuat mereka jarang sekali menyapaku, atau sekedar menanyakan bagaimana keadaanku. Dulu, banyak sahabat-sahabatku yang meramaikan suasana kamar ini. Kami sering berkumpul di rumahku, menghabiskan waktu luang, mengerjakan tugas bersama dan banyak kegiatan kami yang dilalui bersama-sama. Kenapa sekarang kamar ini menjadi sunyi sepi (?), lebih tepatnya setelah aku lulus sekolah menengah atas. Kemana sahabat-sahabatku yang selalu menghangatkan kamar ini dengan canda tawanya (?). Diri ini begitu kesepian, dunia menjadi gelap bagiku tanpa cahaya sedikit pun. Terkadang aku sering protes dengan keadaanku saat ini, rambutku sudah berantakan, kasur yang bergambarkan bebek sudah tak beraturan dan tenggorokanku serasa serak. Bukan papah atau mamah yang menenangkanku, melainkan pelayan setiaku yang selalu menyediakan kebutuhanku.
Jendela Kehidupan ( Elaine with Shani )
( Bonus Foto Elaine, Shani sama yang lain )
Aku seperti burung yang tak bisa terbang dan terkurung didalam sangkar. Kesibukan orang tuaku, membuat mereka jarang sekali menyapaku, atau sekedar menanyakan bagaimana keadaanku. Dulu, banyak sahabat-sahabatku yang meramaikan suasana kamar ini. Kami sering berkumpul di rumahku, menghabiskan waktu luang, mengerjakan tugas bersama dan banyak kegiatan kami yang dilalui bersama-sama. Kenapa sekarang kamar ini menjadi sunyi sepi (?), lebih tepatnya setelah aku lulus sekolah menengah atas. Kemana sahabat-sahabatku yang selalu menghangatkan kamar ini dengan canda tawanya (?). Diri ini begitu kesepian, dunia menjadi gelap bagiku tanpa cahaya sedikit pun. Terkadang aku sering protes dengan keadaanku saat ini, rambutku sudah berantakan, kasur yang bergambarkan bebek sudah tak beraturan dan tenggorokanku serasa serak. Bukan papah atau mamah yang menenangkanku, melainkan pelayan setiaku yang selalu menyediakan kebutuhanku.
"Non Elaine jangan teriak-teriak seperti tadi
yah" disudahi dengan senyuman yang terpancar dari wajah pelayan yang ku
panggil kak Shani. Memang umur kami tak jauh berbeda hanya berselisih 2 tahun
lebih tua dia.
"Aku kesel keeesssseellll banget, kenapa mesti
aku sih ?" aku masih dalam keadaan marah bercampur kesal, butiran air mata
sudah jatuh ditarik gravitasi, membanjiri pipiku ini.
"Iya, saya juga tau, non Elaine kesal diberi
cobaan seperti ini oleh Tuhan. Tapi inget non, dibalik cobaan hidup terdapat
hikmah didalamnya". Ia mendekatiku yang duduk di kasur berantakan ini,
menghapus air mataku dengan sapu tangannya, perlahan. "Non Elaine jelek
kalau sedang nangis" tambahnya saat mengusap bulir-bulir air kesedihan
ini.
Aku hanya terdiam, untuk kesekian kalinya, ia berhasil
menghapus kesedihanku. Kak Shani dipilih orang tuaku sebagai pelayan pribadiku,
karena umur kami tidak jauh berbeda, mereka berharap aku nyaman dilayaninya.
"Non Elaine udah makan ?" tanyanya dengan
suara yang begitu ramah dan sopan.
Aku menggeleng singkat. Kak Shani dengan sigap
membawa sepiring nasi yang diatasnya diberi sup, segelas air putih, dan
beberapa buah-buahan. Setiap hari ia membawa makanan itu diatas nampan, hanya
lauk-pauknya yang ia ganti setiap aku makan.
Dengan telaten, jari-jarinya menyatu dengan sendok
mengantarkan makanan itu ke dalam mulutku. Tugasku hanya membuka mulut dan
mengunyahnya. Kalau saja tak ada kak Shani, mungkin aku sudah mengakhiri
hidupku karena sudah tenggelam terlalu dalam di laut kegelapan ini.
"Aku mau minum dong kak" ucapku sambil
tangan ini menggerayap ke sekitarku. "Nih, buka mulutnya" aku
merasakan segelas air didepan wajahku, tapi aku tak bisa melihatnya, aku
menerka-nerka dimana gelas itu berada, lalu dengan bantuan tanganku dan tangan
kak Shani, air putih ini bisa berselancar di kerongkonganku. Hidup ini terasa
berat, makan dan minum saja aku tidak bisa melakukannya seorang diri.
Aku seperti benalu yang hinggap di pohon yang subur.
Kak Shani selalu menemaniku dalam kegelapan ini, bersedia mendengarkan curhatan
dan keluhan hati ini, selalu melayaniku dengan penuh kesabaran. Pekerjaan yang
selalu memisahkan kami, rumahku yang megah membuatnya membantu Bi Inah,
sebenarnya itu bukan kewajibannya, namun ia tak kuasa melihat wanita paruh baya
itu membersihkan rumah berhektar-hektar ini, sendirian. Dirumah, papahku
memperkerjakan satu pembantu, satu supir, satu tukang kebun, satu orang satpam,
dan satu pelayan pribadiku, kak Shani. Aku memakluminya dan mengizinkannya.
Aku mengisi waktu luang ini dengan duduk di kursi
yang menghadap kearah jendela, udaranya begitu kayak dengan oksigen, karena ada
pohon besar yang berdiri kokoh diluar jendela. Mata ini menghambatku untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sudah 2 bulan lamanya setelah
kejadian itu. Ya. Kecelakaan yang merenggut penglihatanku, kecelakaan yang
merusak masa depanku.
Siang hari aku selalu duduk dikursi yang berhadapan
dengan jendela itu, sambil mendengar lantunan-lantunan irama lagu yang
terdengar dari earphoneku. Aku bosan menjalani hidup ini, lelah menunggu donor
mata yang tak kunjung datang. Kapan aku bisa melihat lagi ?. KAPAN ???. Rasa
kesal dan putus asa sering menghantuiku, hanya kedatangan kak Shani yang mampu
mengusir kesuntukan ini. Hanya dia, yang dekat denganku tak ada yang lain. Aku
dibuat gila, karena kehilangan panca indra. Tak ada yang aneh, tak ada yang
spesial. Hanya pohon rindang ini yang seolah ingin berbicara denganku saat ini.
Kulepaskan earphone ini dari gendang telingaku.
Panca indra ini penasaran pada suara yang ditimbulkan dari luar sana. Terdengar
seperti ada seseorang yang menerobos pekarangan rumah. Aku mencoba menyapanya
"Siapa disana ?". Hening. Tak ada respon dari luar jendela. "Aku teriakin maling nih" ucapku
dengan nada mengancam, mungkin itu bisa membuatnya takut.
"Bukan, aku bukan maling". Dugaanku benar.
"Ngapain kamu masuk rumah orang sembarangan ?" suaranya begitu asing,
bukan mang Darto, tukang kebunku. "Aku cuman mengambil bola yang tak
sengaja masuk kesini" suaranya bergetar, mungkin dia takut kalo aku
laporkan ke polisi. Kalo gak salah, didekat rumahku ada lapang bola, tapi kok
bisa masuk kesini ?.
"Maaf menganggu ketenangan nona yang cantik
ini". Eh. Dia ngegombal ?, haha sudah lama aku tidak mendengar ada lelaki
yang memujiku. Aku tersenyum simpul mendengar itu. "Nama kamu siapa
?" aku jadi penasaran siapa sebenarnya lelaki ini. Keadaan kembali sunyi
senyap. "Mas ?...mas...?" sudah beberapa kali aku menyapanya, tak ada
respon balik. Ahh. Mungkin dia sudah pergi pikirku.
Tok....tok....tok
Suara ketukan pintu itu, mengalihkan perhatianku.
Sudah kupastikan itu adalah kak Shani. "Masuk aja kak" ujarku, pintu
pun terbuka dan ya, seperti yang aku katakan tadi.
"Ada apa kak ?" tanyaku heran. Aku tidak
memesan apa-apa dan tidak memanggilnya. Ini juga bukan waktunya berkunjung ke
kamarku.
"Tadi, kakak denger kamu ngobrol sama
orang" ucap kak Shani, kakinya sudah melangkah mendekatiku.
"Tadi ada anak lelaki yang masuk ke pekarangan
kak"
"Anak lelaki ?" nada suaranya berubah yang
tadinya ramah menjadi panik. "Non gak apa-apa kan ?" terasa tangannya
yang lembut menggerayapi tubuhku secara cepat. "Aku gak apa-apa kok kak.
Lagian dia cuman mau ambil bola yang gak sengaja masuk ke pekarangan
rumah" kali ini berbalik, aku mencoba menghentikan keparnoan kak Shani
yang berlebihan. "Syukurlah. Kalo dia dateng lagi. Non teriak aja. Nanti
biar pak Diman yang urus" kayaknya dia lebih tenang. "Non, mau makan
atau ngemil ? Biar saya ambilkan" lanjutnya. Aku menggelengkan kepalaku. "Aku
masih kenyang kak".
"Yasudah, kakak permisi dulu non. Kalau ada
apa-apa panggil saja kakak". Aku mengiyakannya lalu hawa keberadaan kak
Shani perlahan menghilang dari kamarku.
Statusku dengan kak Shani bukan lagi sebagai majikan
dan pembantu. Aku sudah menganggapnya sebagai kakak aku sendiri. Dia begitu
sayang sekali kepadaku.
*~~~*
Aku jadi penasaran, siapa lelaki yang
berani-beraninya masuk ke pekarangan rumah. Aku salut akan keberaniannya. Kalo
pak Diman liat kan, bisa disangka maling
(?). Tak tau kenapa diri ini ingin kembali berbincang dengannya, meskipun
persentasenya sangat kecil.
Jarum jam menunjukan pukul 4 sore, itu saatnya aku
menyegarkan tubuh ini dengan air bersih. Pintu kamar terbuka kembali "Non
Elaine waktunya mandi" ucapnya sambil masuk ke kamarku. Kesannya aku ini
kayak anak berumur 5 tahun, yang belum bisa apa-apa. Tapi berkat kak Shani, aku
mau belajar mandiri, meski masih membutuhkan bantuannya, aku melakukan
sebisaku.
Aku berdiri perlahan, dan tangan ini mencari-cari
tangan halus yang selalu menuntunku masuk ke kamar mandi. Layaknya tunanetra
pada umumnya, aku berjalan tanpa bantuan mataku. Aku melepas pakaian yang
membalut tubuhku. Perlahan aku mencari cari dimana sikat gigi bersama pastanya.
"Nih non" ucap kak Shani sambil memberikan barang yang aku butuhkan.
Merasa gigiku sudah bersih, aku melanjutkan ke bagian tubuh yang lain. Aku
diuntungkan karena aku dan dia sesama jenis, jadi dia bisa membantuku.
Segar terasa, namun sedikit dingin, tubuhku sekilas
mengigil. Dengan sigap kak Shani menutupi tubuhku dengan handuk. Aku dipapah
kembali menuju kamarku.
"Non, mau pake baju apa ?" aku mendengar
suara decitan pintu lemari yang terbuka, kak Shani mencari baju yang akan aku
pakai sore hari ini. "Terserah kak Shani, aku percaya kok baju yang
dipilih kakak bagus" balasku diiringi dengan senyuman. Sebenarnya aku
tidak memperdulikan aku mau pake baju apa. Toh, aku tidak bisa lagi melihat
diriku memakai baju yang dipilih kak Shani.
"Pake piyama aja yah" dia menyarankanku
memakai baju itu. "Piyama yang mana kak ?" tanyaku karena
keterbatasan ini. "Piyama putih yang ada gambar bebeknya" jawabnya,
sepertinya dia sedang mengambil piyama itu beserta pakaian dalamku. Aku
mengiyakan pilihan kakakku itu, piyama bergambar bebek adalah baju favoritku,
sayangnya aku dibelikan baju itu setelah keadaanku seperti ini. Ingin rasanya
indra penglihatanku melihat tubuhku terbalut piyama itu.
Aku menghentikan niatan kak Shani yang ingin
memakaikan baju ke ragaku. "Biar aku aja kak" kak Shani menghargai
usahaku. Ia menyerahkan satu persatu dari mulai pakaian dalam sampai piyama.
Aku hanya mengandalkan indra perasa untuk memakai baju, sambil menerka-nerka
dimana harusnya pakaian ini diletakan.
Rasa hangat terasa setelah semua pakaian menempel
ditubuhku yang kecil ini. Kak Shani membawaku ke meja rias, ia menandaniku lalu
mengucir rambutku menjadi ponytail. "Wah, non Elaine cantik banget"
pujinya setelah selesai dengan kegiatannya. Aku memasang muka kecewa
"Percuma kak, aku gak bisa liat lagi mukaku yang sekarang" tidak tau
kenapa kekecewaan ini tiba-tiba muncul kembali. Terasa kedua tangan kak Shani
memelukku dari belakang. Rambutnya yang teruntai panjang terasa dipipiku.
"Non yang sabar yah, kakak yakin, pasti akan ada donor mata untuk
non". "Rambut kakak wangi banget" rambutnya menyebarkan bau yang
sedap untuk dihirup. "Non bisa aja". Aku yakin dia sedang tersenyum
malu mendengar pujianku. Keadaan hening datang sejenak, sampai aku membuka
mulut kembali "Aku pengen banget liat wajah kak Shani". "Iya
non, nanti kalo non bisa liat lagi kita jalan-jalan ke taman mau ?"
ajaknya. Aku mengangguk pelan "Janji yah kak".
"Iya kakak janji"
"Sekarang non laper gak ? Mau kakak ambilin
makanan ?" tawarnya memberi pelayanan kepadaku. "Aku mau ngemil
kak" jawabku dengan nada terkesan manja. "Yasudah bentar yah. Kakak
bawain biskuit sama susu panas" ujarnya lalu dekapan hangat ini hilang
bersamaan dengan keluarnya kak Shani.
Jujur saja, sampai saat ini aku belum berani kembali
keluar rumah. Karena apa ?. Aku pernah mengalami trauma yang cukup mendalam.
Aku ditinggal begitu saja oleh pelayanku sebelum kak Shani. Tak tau kenapa
alasannya. Entahlah aku tidak ingin memikirkannya. Hampir 2 jam lebih aku duduk
di bangku taman, ditengah dinginnya udara malam, aku kebingungan, gelisah,
sedih itu sudah pasti. Air mata ini sudah tak bisa ku bendung karena rasa takut
ini yang begitu dahsyat. Sampai suara yang ku kenal terdengar oleh telinga ini.
Suara itu berasal dari mulut papah dan mamahku. Sejak hari itu aku tidak berani
keluar sekalipun kak Shani yang mengajakku. Lamunanku membuyar sesudah
mendengar suara kak Shani yang kembali masuk ke kamarku.
Aku menikmati cemilan yang dibawa kak Shani.
"Kakak pamit kebelakang dulu yah, kasian bi Inah butuh bantuan"
ucapnya. Aku hanya menganggukan kepala karena mulut ini disibukan dengan
biskuit yang harus ku kunyah. Aku terus memakan biskuit ini yang berada diatas
meja rias, sendirian. Aku jadi teringat saat dimana aku duduk sendirian
dikamarku, menunggu ayah yang mencari pengganti pelayanku yang tidak becus
dalam mengemban tugasnya. Jujur, aku tidak ingin pelayan yang baru. Aku hanya
ingin dirawat oleh orang yang melahirkanku. Tapi apalah daya, dia menolaknya
dengan halus sekali, membuatku harus mengalah. Lagi pula aku sudah besar.
"Elaine" suara itu. Suara yang jarang
sekali menyapaku, jam kerja yang cukup padat membuat waktunya untukku minim
sekali. "Mamah" aku begitu bahagia. Terdengar langkah kaki
mendekatiku. "Elaine, mamah bawa temen baru" sebenarnya rasa trauma
ini belum hilang sepenuhnya. "Hallo non Elaine. Nama saya Shani" nadanya
begitu ramah. Tapi bisa saja itu cuman bualan semata."Elaine" balasku
jutek dan pandanganku ku alihkan ke kanan.
"Elaine, jangan gitu ah" mamahku tak suka
dengan sikapku. Ya mau gimana lagi. Salah siapa dulu pilih pelayan yang gak
bermutu. "Gak apa-apa kok nyonya" pelayan itu membelaku. Hah. Aku
tidak butuh belaan darinya.
"Mamah tinggal dulu yah, ada nilai yang belum
mamah masukan" ucap mamah perlahan meninggalkan kamar. Aku tidak protes,
segimananya aku menghentikannya dia akan pergi dengan berbagai alasan.
"Non Elaine udah makan ?" tanya pelayan
itu.
"Udah" masih dengan nadaku yang jutek.
"Ada keperluan lain yang bisa saya bantu
?"
"Gak ada"
"Yasudah, saya pamit ke belakang dulu".
Hari demi hari aku ditemani oleh pelayan baruku,
masih dengan suaraku yang ketus. Aku salut akan kesabarannya menghadapi
sikapku. Lama kelamaan hati ini mulai luluh, aku merasa bersalah selama ini
selalu bersikap dingin kepada pelayanku. Dia berbeda dengan pelayan yang
sebelumnya melayaniku. Bi Ani, dia begitu tak sabaran.
Aku mulai cocok dengan dia, sikap dingin ini sedikit
demi sedikit ku ubah, aku menjadi lebih terbuka dan sering mengeluarkan keluhan
hati yang lama terpendam. Dia seperti mahasiswa jurusan psikologi, selalu
menanggapi semua curhatanku dengan masukan-masukan positif yang memotivasiku
menghadapi kenyataan yang gelap gulita ini.
"Aku mau tanya umurmu berapa sih ?" aku
penasaran akan identitas pelayanku ini.
"20 tahun non" jawabnya, selalu dengan
nada ramahnya yang khas. "Beda 2 taun dong sama aku ?".
"Iya~"
"Eum, gimana kalo aku panggil kamu kakak. Kan
umurnya gak jauh-jauh amat. Terus kamu jangan panggil non biar tambah akrab.
Panggil Elaine aja" aku ingin merubah statusnya dari seorang pelayan
menjadi kakaku yang selalu menyediakan kebutuhanku dan menyayangiku sepenuh
hati.
"Jangan non, nanti tuan sama nyonya marah
lagi" tawaranku ditolak mentah-mentah. "Gak apa-apalah, kan papah
sama mamah jarang dirumah" bujukku kembali. Aku terus merengek dan dia
masih teguh dengan pendiriannya. Sampai salah satu dari kami mengalah.
"Yasudah, gini aja. Non Elaine panggil saya kakak, tapi saya tetep panggil
non" ujarnya.
Aku berfikir sejenak. Daripada perdebatanku
berlanjut, aku lebih baik menyetujui penawarannya. "Yaudah kalo
gitu".
"Kak Shani" aku mencoba memanggilnya dengan
kak. Terdengar sekilas suara pekikan. "Iya non" balasnya. Selanjutnya
aku terus memanggilnya kakak dan dia masih keukeuh memanggilku non sampai hari
ini.
*~~~*
Kulit ini merasakan hangatnya sinar mentari yang
masuk lewat celah-celah jendela yang tertutup. Posisi kasur yang bersebrangan
dengan jendela membuatku selalu disambut oleh cahaya pagi. Seperti biasanya,
kak Shani masuk ke kamarku sambil membawa nampan yang diatasnya ada segelas
susu hangat dan beberapa potong roti dengan lapisan selai stroberi. Ia
meletakannya diatas meja yang berada disamping kasurku.
"Non, cuci muka dulu yah" perintahnya. Aku
hanya mengikuti perkataan kak Shani, hampir sama seperti aku akan mandi. Dia
memapahku, membantuku membersihkan bagian tubuhku. Keluar dari kamar mandi, aku
langsung meminta kak Shani untuk membantuku meminum segelas susu. "Kak,
mau minum susu dong" ujarku. Dia dengan sigap mendekatkan segelas susu itu
ke mulutku, perlahan susu itu ku minum. Aku berlanjut ke menu sarapan lainnya.
Hari-hariku tak ada yang aneh, mungkin cuman
kedatangan cowok kemarin yang membuat kejanggalan di hari-hariku. Siang ini,
aku duduk di kursi yang menghadap jendela, dengan bantuan kak Shani aku
berjalan ke kursi itu. Ia lalu pamit izin ke belakang setelah selesai dengan
apa yang ditugaskanku.
Masih dengan mp3 playerku, aku lebih suka
mendengarkan lagu lewat alat yang disebut earphone ini. Hari ini suara itu
datang lagi. Ya. Suara gerasak-gerusuk menerobos pekarangan rumah. Mungkinkah
itu lelaki yang kemarin ?. Jantungku tiba-tiba berdetak lebih kencang. Aku
sedikit mencondongkan tubuhku ke depan, dan kedua tanganku memegang bagian
bawah jendela yang terbuka itu. Aksiku terbilang nekad. "Ini mas yang
kemarin bukan ?". Berbeda dengan kemarin, ucapanku langsung mendapatkan
respon. "Wah, tuan putri masih inget sama aku".
"Ada apa lagi kamu kesini ?"
"Aku hanya ingin mengambil bola yang masuk ke
pekarangan rumahmu"
"Lagi ?" aku heran, emang ada ya bola bisa
kesasar dua kali ke tempat yang sama tanpa disengaja ?.
"Maaf ya, ketenangan tuan putri terganggu untuk
kedua kalinya".
"Mas..mas, tunggu nama kamu siapa ?" aku
masih penasaran siapa nama lelaki ini. "Nanti aku kasih tau deh"
balasnya dengan suara yang teramat pelan, mungkin dia sedang berjalan keluar
dari halaman rumahku.
Hari-hari berikutnya dia terus datang ke
pekaranganku dengan alasan yang sama. Ini pasti ada yang tidak beres. Apa dia
tertarik pada gadis buta yang berada di dalam jendela ini ?. Dia terus
menerobos masuk halaman rumah dengan alasan yang sama, lama kelamaan obrolan
kami yang sebatas tanya jawab, menjadi lebih intens. Dia memberanikan diri naik
ke atas pohon yang berada dekat dengan jendela kamarku. Aku merasakan hawa
keberadaannya dekat sekali denganku.
"Tuan putri, kok gak pernah keluar sih ? Gak
bosen duduk di kamar terus ?"
"Aku takut"
"Kenapa harus takut ?"
Aku awalnya ragu memberitahukan kalo pandangan ini
sudah tak ada. Aku takut teman keduaku setelah kak Shani ini pergi sesudah
mengetahuinya.
"Aku tidak bisa melihat" Ya inilah aku.
Aku ingin hidup dengan penuh kejujuran.
"Ouh, kalo gitu aku mau deh jadi matanya tuan
puteri" ucapnya. "Caranya ?" aku masih tidak mengerti apa
maksudnya. "Contohnya nih, di depan kamu ada sebuah pohon besar dan
disalah satu batangnya sedang duduk seorang pria tampan". Haha. Lucu dia
memuji dirinya sendiri. "Masa sih ?" aku tak bisa menahan lagi senyum
geli ini. "Yaiyalah, nanti kalo mata tuan puteri sembuh, pasti tau gimana
kegantenganku yang mengguncang dunia ini" dari suaranya dia begitu percaya
diri. Oh Tuhan, berikanlah diri ini kesempatan untuk melihat lagi, setidaknya
aku ingin melihat wajah kak Shani dan wajah pria yang ada dihadapanku.
"Oh iya, aku belum tau nama kamu". Curang
dong, masa dia tau namaku, sedangkan aku gak tau nama dia. "Temen-temen
sih sering panggil aku kaluth" aku mengerutkan keningku. Nama yang begitu
aneh.
"Kenapa di panggil kaluth ?" aku penasaran
asal mula lahirnya nama ini. "Soalnya aku paling jago mengobati hati orang
yang sedang kalut atau gundah gulana".
"Emang nama asli kamu siapa sih ?" masa
ayahnya kasih nama gak jelas gitu ?. "Semuutt" jawabnya nadanya
begitu melengking tinggi.
Brakk.
Aku kaget, kukira nama aslinya semut. Ternyata dia
digerayapi semut dan jatuh dari pohon. "Kakak gak apa-apa ?" tanyaku.
"Aa..aduuhh" dia begitu kesakitan sampai
tak bisa menjawab pertanyaanku. Aku menanyakan hal yang sama dua kali.
"Gak apa-apa kok len. Aku pulang dulu yah, udah sore nih" jawabnya.
Dalam pikiranku aku membayangkan seorang lelaki berjalan agak membungkuk sambil
salah satu tangannya memegang pantatnya.
Kedekatanku dengan cowok yang memanggil dirinya
kaluth sudah diketahui kak Shani. Awalnya ia melarangku dekat dengan pria yang
mengaku tampan itu. Tapi setelah aku memberikannya beberapa alasan yang
dikiranya masuk diakal. Ia tak melarangku dekat dengan kaluth.
"Aku juga aneh kak. Masa ada orang yang namanya
kaluth". Sore itu setelah memanjakan tubuh ini dengan air hangat, kak
Shani sedang mendengarkan curhatanku.
"Terus yah kak. Waktu aku tanya nama aslinya
siapa. Dia malah jawab semuut" sambungku dengan nada penekanan di kata
'semut'.
"Semut ?" kak Shani terdengar heran.
"Aku kira nama aslinya semut, taunya dia lagi
digerayapi semut. Sampai jatuh dari pohon segala"
"Haha, dia emang cowok yang unik"
"Dia juga memuji dirinya sendiri tampan
kak"
"Masa ? Kakak jadi penasaran"
"Sama aku juga kak. Pengen
li..at...wa..jah..nya" aku selalu sedih saat obrolan apapun yang menyinggung soal penglihatan. Hatiku yang
awalnya berbunga-bunga karena dapat teman baru, sontak menjadi sedih kembali
ketika mengingat keadaanku yang sekarang.
Lagi. Tubuh kak Shani yang kurasa lebih tinggi dan
besar mendekap tubuhku. Pelukan yang bisa mengusir kesedihan dan kekesalanku.
"Suatu hari nanti, non pasti bisa liat wajah
lelaki itu" ujarnya saat tubuh kami menyatu. Aku mengangguk pelan ditengah
pelukan hangat ini.
*~~~*
Kebiasaanku dengan kaluth terus berlanjut. Aku
selalu berbincang dengan cowok yang suka ngegombal dan suka memuji dirinya
sendiri itu.
"Selamat siang nona cantik" seketika aku
menyunggingkan bibirku sambil melepaskan earphone. "Kaluth udah
dateng" ditengah kesibukan kak Shani yang tidak bisa menemaniku, aku
mendapatkan satu teman baru, lebih tepatnya lagi cahaya terang yang menerangi
kegelapan dimata ini. "Iyalah, pangeranmu ini akan selalu ada untuk
menghibur permaysuriku". Aku akui makin kesini dia tambah lebay, tapi itu
cukup bagiku untuk melupakan cobaan hidup ini.
Perbincangan kami tak berarah. Terkadang aku
menceritakan keadaanku beserta keluargaku. Dia juga sering memegang kendali
obrolan. Dia menceritakan keluarganya yang sedang mengalami krisis ekonomi. Aku
mencoba menawarkan bantuan, seperti sejumlah uang atau memberinya sebuah
pekerjaan. Namun dia menolaknya "Bukannya aku menolak tawaran tuan puteri.
Tapi diri ini ingin mencari pekerjaan dengan
usaha sendiri tanpa bantuan dari tangan orang lain". Aku rasa dia
egois, namun tawaranku terus ditolak dengan alasan yang sama dengan susunan
kata yang beraneka ragam. Aku menyerah menawarinya bantuan, dan lebih
menghargai prinsip hidupnya. "Terus kenapa kaluth gak cari pekerjaan ? Malah
nemenin aku disini ?".
Hening. Mungkin dia sedang mencari-cari alasan. Apa
dia suka padaku ?. Kalimat itu tiba-tiba muncul dipikiranku.
"Itu karena aku nyaman banget ngobrol sama tuan
putri. Lagian aku punya jadwal tersendiri dalam mencari pekerjaan". Ouhhh.
Alasan yang masuk akal. "Kamu sering main bola juga yah ?".
"Iya dong. Kan pangeranmu ini seorang bintang
lapangan" ujarnya menyombongkan diri. Sejak kapan aku mengakui dia sebagai
pangeranku ? Sungguh pria yang aneh.
"Terus yang nendang bola sampai masuk ke
rumahku siapa ? Dan kejadian itu berkali-kali lho"
"Awalnya sih, aku gak sengaja nendang bola
sampai masuk kesini. Saat aku mengambil bola itu ada wanita cantik yang ingin
meneriaki aku maling". Aku tersenyum simpul saat mendengar kalimat terakhir
yang terucap di bibir kaluth.
"Dirumah, wajah wanita itu terus
terngiang-ngiang dipikiranku. Aku hampir gila dibuatnya" aku mengeluarkan
suara tawa, namun berusaha aku tahan. "Aku berinisiatif untuk kembali
kesini. Tapi bagaimana caranya ? Yaudah aku pura-pura aja mau ambil bola lagi.
Dan wanita itu adalah kamu nona cantik yang bernama Elaine". Senyumku
melebar selebar-lebarnya
"Non Elaine" suara yang begitu aku kenal,
nadanya seolah menggodaku. Langkah kecilnya melangkah cepat menuju kearahku.
"Whuaaa" dia mengkagetkanku dengan menepuk
kedua pundakku dengan kedua tangannya
"Kak Shani ?" dia berhasil mengagetkanku
yang tengah asyik mengobrol dengan kaluth.
"Itu cowok yang kamu ceritain ke kakak ?"
mungkin saat ini bola mata kak Shani sedang melihat ke arah pria diluar sana.
"Iya kak" balasku singkat. "Nama kamu siapa ?"
"Panggil aja kaluth kak" dari nadanya dia
malu-malu menanggapi pertanyaan kak Shani.
"Kaluth ?" aku aneh, kak Shani kan udah
aku kasih tau tentang nama aneh pria itu. Tapi ia terkesan tidak tau menau, aku
rasa kak Shani ingin menggodanya.
"Karena aku bisa whuaaa"
Brugh
Dia jatuh lagi ? Sama semut lagi ?.
"Kamu gak apa-apa ?" tanya kak Shani.
"Gak-apa-apa kak" jawabnya.
"Kamu kenapa bisa jatuh lagi sih ?"
tanyaku heran
"Tadi aku hilang keseimbangan"
"Karena ?"
"Ada dua bidadari cantik dihadapanku tadi"
Ampun deh. Dia masih bisa ngegombal ditengah rasa
sakit yang menghinggapinya. Mungkin gombalannya terlalu umum, namun itu
berhasil menghadirkan senyuman di wajahku dan kak Shani.
Kejadian hari itu membuat ikatan baru antara aku,
kak Shani dan kaluth. Telinga mereka selalu siap siaga ketika aku ingin
mencurahkan apa yang aku rasakan. Dan kaluth juga sering menghiburku dengan
gombalan yang menurutku biasa saja.
*~~~*
Aku tak merasa gelap gulita lagi, apalagi sendirian.
Meskipun donor mata ini belum juga tersedia. Aku dengan sabar menunggunya,
ditemani oleh seorang sahabatku dan seorang yang sudah kuanggap kakak. Mereka
seperti dua mentari yang menerangiku dalam mengarungi lautan yang gelap gulita
ini.
Tak ada yang aneh, bahkan aku semakin semangat
menjalani hidupku. Sampai dimana jam menunjukan pukul 1. Kaluth selalu
berkunjung pada jam tersebut. Aku dengan setia menunggunya dan kak Shani
mempercepat pekerjaan rumah tangganya agar bisa bergabung dengan kami berdua.
"Duhh kaluth kemana sih ?" kalo
perkiraanku tidak salah, dia sudah telat setengah jam lebih. Kak Shani sudah
masuk ke kamarku. Kedatangannya biasanya disambut oleh kami berdua. Tapi hari
ini ada yang berbeda.
"Kaluth kemana non ?" tanyanya heran
karena tak ada sosok lelaki yang sedang duduk dibatang pohon. "Aku juga
gak tau kak. Sebelumnya dia gak pernah telat kayak gini deh". Siang dengan
terik matahari yang cukup terik ini aku isi dengan mengobrol dengan kak Shani
seorang.
Tok...tok...tok
Siapa ? Kak Shani kan ada disini. Mamah ? Atau Papah
?. Ah gak mungkin mereka kan masih berada di jam kerja. Otakku terus
menerka-nerka siapa yang dibalik pintu itu.
"Masuk"
"Maaf non saya menggangu waktu non" ujar
pak Diman sambil membuka pintu kamar.
"Ada apa pak Diman ?"
"Ini saya ketitipan surat dari temen non"
Kaluth ? Ngirim surat ? Mungkin didalam surat itu
ada alasan kenapa hari ini ia tak datang.
"Kak Shani tolong ambilin suratnya dong"
pintaku. Tanpa bantahan apapun ia mengambil surat itu dari tangan pak Diman,
satpam itu pun izin kembali ke pos satpam.
"Wah, suratnya ada dua non"
Kak Shani memberitauku bahwa kaluth mengirimkan dua
surat untukku. Dan katanya tertera disalah satu surat itu sebuah kalimat.
Bacalah surat ini sekarang. Mintalah bantuan kepada
kak Shani untuk membacanya.
Di surat yang kedua tertulis kalimat...
Dan surat yang ini bacalah dengan matamu sendiri.
Sang puteri cantikku.
Aku menyuruh kak Shani untuk membaca surat pertama
itu. Dengan rela hati ia membacakannya untukku.
Hallo
nona cantik. Maafin yah pangeranmu hari ini tidak bisa ke istanamu. Mungkin
hari-hari berikutnya aku tidak bisa menemanimu, mendengarkan curahan hatimu dan
bercanda gurau denganmu dan juga kak Shani. Aku diterima kerja diperusahaan
tekstil di Jakarta. Ketika kak Shani membaca surat ini untukmu aku sudah berada
di Jakarta. Maafkan aku tidak bisa menyempatkan pamitan kepadamu. Aku akan
selalu rindu saat-saat aku bersamamu. Aku berjanji akan menemuimu kembali
nanti. Nona cantik harus janji pada aku agar tidak menyia-nyiakan air mata nona
cantik untuk menangisi kepergianku. Sampai jumpa lagi Elaine Hartanto.
From
Your Prince
Kaluth~
Mata ini sudah bergelinang air mata. Aku memberikan
isyarat kepadanya bahwa aku ingin merasakan lagi pelukannya saat ini. Kak Shani
begitu tau apa isyaratku. Ia memberikan pelukannya yang mampu menenangkan hati
ini.
Aku menangisi kepergian kaluth itu. Aku bahkan belum
sempat lagi menanyakan siapa nama aslinya karena keasikan dengan candaanya.
Mungkin ini yang terbaik untuknya. Aku senang kalau dia sudah bekerja, dia bisa
membantu memperbaiki keuangan keluarganya. Namun kepergiannya meninggalkan
lubang yang begitu hesar dihati ini. Aku berusaha tegar dan berjanji pada
diriku sendiri untuk menunggu kaluth dan pendonor mata ini. Aku juga berjanji
pada kaluth tidak akan lagi menurunkan air mata yang selalu membasahi pipi ini.
*~~~*
Hari selanjutnya kebiasaan lamaku kembali kulakukan.
Aku hanya diteman kak Shani dan earphone yang menempel ditelinga saat kak Shani
tak ada. Aku penasaran apa isi surat kedua dari kaluth. Aku juga selalu
menyampaikan ini kepada kak Shani. Seperti biasa dia menyikapi curhatanku ala
mahasiswa psikologi.
Saat-saat yang ku nantikan telah tiba. Aku tidak tau
bagaimana caranya mengekspresikan kebahagian ini. Malam itu, ketika aku sedang
tenggelam dalam lamunanku, mamah masuk ke kamarku dan membuyarkan lamunanku.
"Elaine, mamah bawa kabar gembira". Suaranya begitu riang gembira.
Jarang-jarang mamah seperti itu. "Emang kabar apa mah ?" aku mulai
penasaran dengan kabar yang dibawa mamah. "Kata papah, donor mata buat
kamu udah ada". Ya aku senang sekali, akhirnya setelah berbulan-bulan aku
hidup di jalan yang gelap gulita ini, aku bisa kembali melihat indahnya dunia
satu kali lagi. Aku bisa melihat wajah kak Shani dan bisa membaca surat kedua
dari kaluth. "Kak Shani mana mah ?" aku sudah tidak sabar
memberitaunya kabar gembira ini.
"Dia lagi bantuin bi Inah" aku menahan
hasrat ini sampai nanti kak Shani berkunjung ke kamarku. Selang beberapa menit,
kak Shani datang ke kamarku, membawa makan malam untukku. "Non, ini makan
malamnya" suara yang ku nanti, semangatku tengah menggebu-gebu. "Kak,
kakak udah tau belum..." suara ramah itu tiba-tiba menghentikan ucapanku.
"Udah, udah tau non. Donor mata buat non udah ada kan ?".
"Iya kak, akhirnya ada juga donor mata
untukku" aku merasakan kehadirannya begitu dekat. Aku mencoba memeluknya.
Ia membalas pelukanku, kepalanya diletakan dipundakku sembari tangannya yang
lembut mengusap rambut ponytailku secara perlahan. "Syukurlah, apa yang non
harapkan, akhirnya terwujud". Aku merasakan butiran air mata meresap ke
serat kain bajuku, "kak Shani nangis ?". Aku mencoba memastikannya.
"Gak, kok. Kakak gak nangis" dia melepaskan pelukannya. Dia tidak
pandai dalam berbohong, aku tau dari nadanya dia sedang menahan air mata.
"Dimakan dulu non" telingaku menangkap suara piring yang beradu
dengan sendok. Aku senang kak Shani sampai terharu mendengar berita ini.
Berhubung perutku juga sudah meminta asupan yang bergizi, makanan yang dibawa kak
Shani ku makan sampai perut ini kekenyangan. "Udah kak" aku
menghentikan suapan berikutnya. "Yasudah nih, minum dulu" ujar kak
Shani. Seperti biasanya ia membantuku untuk
meneguk segelas air putih.
Hari dimana aku akan menjalani operasi telah tiba.
Kata mamah aku akan tertidur selama beberapa jam saat operasi berlangsung. Aku
harap operasi mata ini lancar dan berhasil.
*~~~*
Saat kesadaranku kembali dari obat bius. Aku
merasakan ada balutan perban yang membalut mataku. "Kak Shani, Mah,
pah,..." aku mencoba memanggil orang-orang yang ku kenal
"Elaine kamu udah sadar" itu suara mamah.
"Syukurlah" mungkin itu suara papah, soalnya aku jarang mendengar
suaranya.
Aku kemudian dirawat beberapa hari dengan perban
yang masih melekat. Jantung ini berdebar kencang, keringat dingin sudah siap
untuk ku keluarkan, ketika perban yang menutupi mata ini akan dilepas dokter.
Helai demi helai perban itu terlepas secara
perlahan. Aku tidak sabar ingin melihat kembali dunia yang terang ini. Semua
helai perban telah terlepas, aku mengedipkan mataku beberapa kali. Kepalaku
agak pusing, karena cahaya matahari yang begitu terang. Aku melihat 2 orang
pria dan 1 wanita. Mereka adalah kedua orang tuaku dan seorang dokter. Sejenak
aku berpeluk rindu dengan mamah papahku. Sudah lama aku tak melihat kedua wajah
orang tuaku. Terbesit tanya dibenak ini. "Oh iya mah kak Shani mana
?" setelah aku sadar aku tidak mengetahui keberadaan kakak yang selalu
merawatku. Hening. Tak ada jawaban. Aku mencoba menanyakan pertanyaan yang
sama. Lagi, tanpa respon. Namun mamah memberikanku sepucuk surat. Hahh.
Perasaanku tidak enak. Terakhir kali aku menerima surat, pengirimnya pergi
meninggalkanku.
Untuk
non Elaine.
Selamat
yah non. Mata non Elaine sudah berfungsi kembali. Kakak ikut senang. Maaf kakak
tidak bisa menemani non saat non sudah bisa melihat. Kakak mau jujur sama non,
sebenarnya kakak mengidap penyakit kanker ginjal. Memang sudah lama penyakit
ini kakak derita. Gejalanya sering keluar saat kakak mengurus non, kakak sering
meminta izin untuk membantu bi Inah. Maaf non. Itu hanya kebohongan semata.
Kakak sering kelelahan saat melayani non Elaine. Setelah tau akan penyakit
kakak, tuan dan nyonya ingin membujuk kakak untuk berhenti dari pekerjaan ini,
namun hati kakak menolak. Kakak ingin menjadi lentera di kehidupan non. Kakak
ingin menenangkan wanita yang selalu merengek ingin melihat kembali. Kakak
ingin diakhir hidup, bisa memberikan sesuatu yang berharga untuk orang lain.
Kata dokter umur kakak 3 bulan lagi. Kakak sudah membulatkan tekad, kedua orang
tua kakak juga sudah mengetahuinya, meskipun dengan berat hati. Mata ini, kakak
serahkan kepada non Elaine yang sudah lama menanti mata barunya. Semoga non
bisa melihat wajah kaluth dan membaca surat kedua darinya. Dan bisa memakai
mata kakak ini sebagai mestinya. Lanjutkanlah sekolah non. Dan ingat janji non
pada kaluth. Dan maaf kakak tidak bisa menempati janji kakak.
Dari
kakak yang selalu menyayangimu.
Kak
Shani.
Tanpa diperintah, bulir air mata ini terus menetes
ketika membaca surat dari kak Shani. Butiran itu membasahi permukaan kertas
yang aku pegang. Kuhempaskan surat itu ke lantai.
"KAK SHANIIIIIIIIIII" aku menangis
sejadi-jadinya, berteriak sekencang mungkin. Mamah memelukku mencoba
menenangkanku. Namun sekarang yang ku inginkan adalah pelukan hangat dari kak
Shani. Kenapa saat aku bisa melihat kembali kedua cahaya yang selalu menemaniku
dalam kegelapan ini meninggalkanku begitu saja ?. Kenapaaaa ?. Lebih baik aku
buta saja. Tak henti-hentinya air mata ini keluar dari pelupuk mataku, sudah
berjam-jam aku menangis. Mamah dan papah sudah mengemasi barang-barangku dan
akan membawaku kembali ke rumah. Diperjalanan pulang, hati ini masih menangisi
kepergian kak Shani.
Sehari setelah operasi aku meminta satu foto kak
Shani. Mamahku dengan senang hati memberikannya. "Aku rindu kak
Shani" air mata ini turun tanpa aba-aba. Baru saja satu hari aku sudah
sangat merindukannya. Wajahnya begitu cantik, dengan senyuman yang begitu
indah. Ah kak Shani hatimu begitu mulia. Aku simpan sebaik mungkin foto kenangan
ini. Aku tidak ingin menghilangkannya.
Rencananya sekarang aku akan mengunjungi pemakaman
dan kediaman kedua orang tua kak Shani. Tak jauh berbeda, aku kembali
mengeluarkan air mata yang seolah-olah tak habis-habis saat melihat
pemakamannya. Saat aku bertemu dengan kedua orangtuanya, aku membungkuk dikedua
lutut ibunya dan meminta maaf sedalam-dalamnya. "Sudah nak. Kamu tidak
usah meminta maaf. Itu memang keputusan Shani" tangan hangat ibu kak Shani
mengusap punggungku. Ah. Memang kedua ibu anak ini memang pandai dalam
menenangkan hati seseorang. 1 jam bertamu di rumah mendiang kakakku. Aku pamit
pulang, diakhir kunjungan papahku memberikan santunan berupa sejumlah uang yang
bisa membantu perekonomian mereka. Kedua orang tua kak Shani sangat berterima
kasih.
*~~~*
Sekarang, aku masih sendiri. Meskipun mata ini bisa
memandang kembali. Meskipun aku sudah masuk ke perguruan tinggi. Aku. Masih.
Sendiri. Aku membuka kembali buku diaryku yang telah usang. Buku diary yang
sudah lama tak aku isi. Aku buka lembaran baru. Menuliskan apa yang aku
rasakan. Berharap kak Shani bisa melihatnya dari alam sana meskipun itu
mustahil. Aku membuka laci tempat biasa aku menyimpan barang-barang pribadiku.
Ku ambil surat kedua dari kaluth.
Untuk
Putri bebekku
Selamat..
Tuan
putri sudah bisa liat yah ?
Wah.
Aku ikut senang. Akhirnya apa yang kamu inginkan bisa terwujud.
Nona
cantik masih menungguku dibalik jendela itu kan ?
Aku
berharap seperti itu.
Kenapa
surat ini harus dibaca oleh tuan putri sendiri ?
Karena
aku ingin tuan putri yang pertama membacanya. Aku tak ingin orang lain
mengetahuinya termasuk kak Shani. Hehe.
Semenjak
aku pertama kali melihat muka kamu len.
Wajahmu
tergambar jelas dipikiranku.
Tak
sanggup aku menghapusnya.
Kuputuskan
untuk mendekatkan diri ini padamu.
Hatiku
semakin yakin.
Bahwa
kaulah yang selama ini aku cari.
Kau
teman hidupku
Tunggulah
aku
Aku
akan kembali secepatnya
Dari
orang yang belum kau ketahui namanya
Kaluth~
Haha. Menulis saja masih nyebut aku nona cantiklah,
putri cantiklah, putri bebeklah. Apalah aku tidak mempermasalahkannya. Tapi
puisinya lumayan bagus juga. Dalam surat itu terjatuh selembar foto, aku segera
mengambilnya. Terlihat seorang lelaki dengan rambut yang tidak beraturan dan
wajahnya seperti apa yang ia katakana waktu itu.
Penantianku berlanjut. Kali ini aku menunggu jendela
kehidupanku. Ya. Seorang yang hidup dari luar jendela sana. Aku selalu
menantinya dikursi ini, masih dengan earphone di telinga. Tak jarang aku
tertidur karena lantunan lagu melow ditambah dengan hembusan angin sejuk yang
membuat diri ini nyaman. Setiap hari aku
memandangi kedua foto ini. Ya. Foto kak Shani dan kaluth.
Aku akan selalu menunggumu
....
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Hai nona cantik"
"Kaluth ?"
The End
Untuk cerita yang lebih menarik lainnnya, anda bisa lihat disini.
Silahkan Berkomentar!
Terima kasih.
Untuk cerita yang lebih menarik lainnnya, anda bisa lihat disini.
Silahkan Berkomentar!
Terima kasih.