Promise Part 1

Hello readers, oh ya ini adalah titipan dari temen gw. Dia nggak mau disebutin namanya. Katanya ini ff pertama yg dia buat.

Tidak terasa sekarang ku sudah menjadi seorang yang hampir menjadi  MABA di salah satu universitas terkemuka di Bandung. Seakan baru minggu lalu aku menjadi siswa SMA dan bertemu dengan sahabatku yang semula adalah musuhku. Dan seakan baru kemarin juga aku berpisah dengan sahabatku yang pindah ke Jakarta karena tuntutan orang tuanya.

*flashback On

Aku yang baru di sekolah ini harus menjalankan tradisi pengenalan sekolah atau yang kita sering sebut sebagai MOS (Masa Orientasi Sekolah) yang dimana kakak – kakak kelas seperti biasa membully murid baru. Tidak jarang juga MOS ini juga dijadikan sarana pencari jodoh bagi senior. Hahaha… hal yang sudah menjadi kebiasaan tiap tahun.

Kami dikumpulkan di tengah lapangan dengan memakai property – property yang mencolok layaknya orang gila, dipaksa untuk mendengar ceramah dari kepal sekolah maupun guru – guru yang memang maengawasi jalannya MOS.

Setelah berjam – jam mendengarkan ceramah dari guru – guru yang bahkan kami tak ingat apa yang dibicarakannya, kami dipersilahkan untuk istirahat selama setengah jam.

Langsung saja aku ke kantin dengan kawanku yang berbeda kelas karna perutku meronta – ronta ingin diberi makan. Aku hanya membicarakan hal – hal yang menarik yang terjadi selama berlangsungnya MOS.

“By,  lo taukan tadi kakak kelas yang marah – marahin kita terus waktu di lapangan?” Tanyaku kepada sahabatku bernama Boby Chaesar Andilaw.

Dia sahabatku dari kecil. “iya, emang kenapa Va?” balasnya yang heran dengan pertanyaanku.

“Tuh…, lihat aja sendiri.” Ujarku sambil menunjuk kearah meja yang agak berjauhan dari meja kami.
Ia tampak serius melihat kakak kelas yang kusebutkan tadi.

Ia memicingkan matanya menelisik apa yang salah dari kakak kelasnya itu. Sadar  dengan apa yang kubicarakan ia langsung tertawa terbahak – bahak diikuti oleh ku.

“wkwkw… gila…!! Padahal tadi kayaknya serem, eh kenapa sekarang ia jadi ngondek gitu.” Ucapnya agak keras yang diiringi dengan tawanya yang semakin keras sehingga menjadi perhatian siswa yang berada di kantin ini.

“heh… diem lu!! Ketauan baru rasa lu.” Balasku sambil menahan tawa agar tidak meledak.

Dugg

Benda keras yang sepertinya penggaris menghantam kepala kami dari belakang menimbulkan reaksi terkejut.

"Siapa yang berani memukul kepalaku ini? Tidak tau apa siapa aku ini?’ pikirku.
“HEH, siapa lo…? Berani… be..ra…ninya…” ujarku yang melemah ketika melihat yang memukul kepalaku adalah orang sedang kami bicarakan tadi.

“Apa lo? Mau mukul gw?” ucap kakak kelas tersebut yang semula kemayu menjadi ganas.

“Sekarang sebagai hukumannya, kalian lari lapang upacara sepuluh keliling. CEPET…!” Bentaknya.
Akhirnya tanpa basa basi kami pun menerima hukuman kami meskipun perut ini belum puas mencicipi jajanan di kanti sekolah ini.

*~~~*

Hari ini adalah hari terakhir MOS. Panitia menyelanggarakan sebuah pertandingan untuk meng-akrabkan masing – masing kelas. Aku berinisiatif mengikuti pertandingan basket yang juga dipimpin olehku, Deva Kemal Putra. Seorang yang ganteng pujaan para wanita whahaha…

“Untuk basket kelas 1b harap memasuki lapangan basket!” Ucap panitia yang menyuruh kami memasuki lapangan. Dan lawanku kali ini ini adalah kelas J.

Hmmm… kulihat dari tampang kaptennya yang memakai kacamata berlensa tebal ini, dia bukanlah lawan sebanding. Ternyata dugaanku salah. Dia mahir sekali bermain basket untuk seorang yang berpenampilan seperti seorang ‘Nerd’ ini.

Setelah beberapa menit berjalannya pertandingan kami cukup tertinggal jauh. ‘Aku tidak mungkin kalah dari seorang Nerd seperti dia.’ Batinku.

Kurebut bola yang memantul – mantul dari tangan lawanku ini, *berlari menuju tak terbatas dan melampauinya. Berlari menuju sisi lawan, dan dihadang oleh beberapa orang yang membuatku sulit untuk bergerak.

Ku oper bola tersebut kepada seseorang yang bebas dari penjagaan. Ketika hendak melompat dan memasukan bola, terlihat dari belakangnya mencoba merebut bola itu dan terjadilah benturan keras antara keduanya.

Temanku terjatuh dan menghantam semen yang keras dengan dagunya. Kulihat ia meringgis kesakitan. Sontak aku mendorong lawanku yang tadi membentur punggung temanku. Kericuhan pun terjadi antara kedua tim. Bukan hanya kedua, pendukung dari masing kubu pun ikut dalam suasana menegangkan ini.

“Sabar, kendalikan emosi kalian masing – masing!!” Tegas kapten tim lawan yang sedang meleraiku dan bajingan yang berdiri di hadapanku ini.  Ia terlihat kewalahan melerai kami berdua.

“Minggir lo…!” bentaku kepadanya sambil mendorong ia hingga terjatuh. Emosiku ini serasa ingin meledak.

Tak kusangka kembali seorang yang kukira adalah orang yang cinta kedamaian tersebut memukulku tepat di pipi kananku. Karna masih tidak dapat mengendalikan diriku, akhirnya aku membalas memukul tepat di ulu hatinya.

Kericuhan pun semakin menjadi – jadi yang semula hanya lapangan basket sekarang menjadi arena pertarungan antar dua kelas.
Lawanku adalah sang kapten lawan yang ternyata juga jago berkelahi. Pertarungan antar kapten tidak dapat dihindari, layaknya sudah ditakdirkan.

Panitia penyelenggara pun kewalahan memisahkan kami. Guru? Sepertinya mereka menikmati liburan mereka. Hingga satu persatu siswa berguguran yang hanya menyisakan kami berdua.  Tak terasa perkelahian ini berlangsung selama dua jam. Kuakui cukup kuat juga dia ini.

Hingga beberapa guru memisahkan kami berdua, dan membawa kami ke ruang BP (Badan Pengawas) sekolah untuk mempertanggung jawabkan semua yang terjadi. Mungkin salah satu panitia telah menghubungi guru pengawas. Di ruang BP terlihat senior – senior sedang dibentak – bentak oleh pengawas karena lalai dalam tugas.

Seperti biasa, kami diinterogasi layaknya provokator dalam demo. Menanyakan siapa yang memulai. Dan yang pastinya kami berdua Saling menuduh. Akhirnya setelah beberapa jam telingaku ini panas, mereka memperbolehkan kami untuk pulang. Hukuman? Sebenarnya hukumannya adalah Skors selama 2 minggu, tapi mereka  membatalkannya karena tidak mungkin 2 kelas sekaligus di skors. Akhirnya mereka memakluminnya karena ini juga masih tahun ajaran baru.

*~~~*

Semenjak hari itu kami berdua selalu bertengkar. Tidak jarang juga kami berkelahi di luar sekolah. Namun disinilah lucunya, sikap kami berdua yang saling tidak mau mengalah dan kalah dari hal apapun yang membuat kami menjadi teman akrab sekaligus rival abadiku. Ia adalah Ghaida Farish. Seorang laki –laki yang mempunyai pacar dimana – mana.  Dan tidak percaya dengan tampang yang lugu seperti itu, ia adalah seorang yang selalu berkumul dikerasnya dunia hitam.

Setahun berlalu akhirnya kami bertiga menjadi sahabat. Oh iya aku belum memberitahu bahwa dia juga sudah akrab dengan Boby. Namun sayangnya ia harus pindah ke Jakarta karena tuntutan pekerjaan ayahnya. Akhirnya sepakat untuk kuliah di universitas yang sama.

*Flashback Off

Aku masih menunggu salah satu sahabatku yang sekaligus rival abadiku ini menepati janjinya untuk meneruskan pendidikan di universitas sama. Kita bertiga sudah sepakat untuk kuliah di universitas di Bandung yang memang dekat dengan rumah kami.
Aku berharap ia tidak mengingkari janjinya. Lihat saja sampai ia mengingkari janjinyaakan ku kubur dia hidup – hidup.

*~~~*

Beberapa hari telah berlalu. Masa ospek pun telah berakhir, namun belum ada tanda – tanda kemunculan Farish. Aku ingat bahwa dia ingin masuk jurusan sastra jepang. Memang kuakui kampus ku dan kampusnya agak berjauhan tapi masih dalam satu kompleks.

“By, udah ada kabar belum dari si Farish?” Tanyaku pada Boby karena sampai saat ini dia belum memberikan kabar.

“Belum, gw kira dia udah ngehubungi lo.” Balasnya yang juga mungkin bertanya – tanya kemana kehadiran si Farish.

Kalian pasti berpikir kenapa tidak langsung ke rumahnya saja, ya kan? Sebenarnya sudah kami coba tapi, bukanlah Farish ataupun keluarganya namun seseorang yang asing di mata kami.

Dia bilang rumah ini dibelinya beberapa bulan lalu. Namun ketika kutanyakan kemana pemilik sebelumnya pindah ia sama sekali tidak tau. Ia hanya membelinya dari seorang yang mengaku pembantunya yang disuruh menjual rumah tersebut oleh majikannya.

Aku berpikir sejenak , kenapa ia tidak memberitahukan keberadaannya kepada kami? Namun masih berkomunikasi lewat media social maupun telepon. Atau jangan – jangan dia lupa akan janjinya yang dibuat 2 tahun lalu. Ku segera mengeluarkan telepon dan mencoba menghubunginya, namun sial tidak ada respon dari sang pemilik nomer tersebut.

*~~~*

Beberapa minggu telah kujalani dengan keyakinan bahwa seorang Ghaida Farish telah mengingkari janji yang sudah ia buat sendiri. Namun aku masih berpikir positif bahwa ada yang membuatnya harus mengingkari janjinya karena hal yang lebih penting, mungkin.
Aku sekarang sedang berkeliling sekitaran kampus bersama Boby dan Shania Junianatha yang tidak lain adalah kekasihnya. Aku seperti pengawal mereka berdua yang mengikuti kemana pun mereka  pergi.

“Pacaran aja terus sampe lupa kalo ada sahabatnya sendiri disini.” Dengusku kesal masih dengan mata menatap ke depan.

“whahaha… makanya jangan jomblo – jomblo amat lu.” Balas Boby yang menertawakan keadaanku searang ini.

“iya nih ganggu aja nih, orang lagi pacaran hihihi…”balas seseorang yang tak lain adalah kekasih dari sahabatku sendiri yang tertawa pelan.

“woy…! Yang ngajak jalan – jalan kan gue, kenapa malah gue yang salah? Apa salah gue?”

“salah lu tuh…” balas Boby sambil melirik kearah Shania.

“ JOMBLO…” Ucap mereka bersamaan yang menekankan pada kata ‘jomblo’ dengan tatapan menghina kearah ku.

“Nggh… terserah apa lu dah.” Ucap ku berjalan mendahului mereka yang masih asik menertawakan keadaanku.

Tiba – tiba kakiku terhenti ketika melihat seseorang yang tak asing yang berada dihadapanku tengah asik dengan komiknya dan berteduh di bawah pohon rindang. Tak percaya akan apa yang aku lihat sampai mulut ini seketika membisu. Hingga seseorang dari belakang menepuk pundakku yang tak lain adalah Boby.

“hey… kenapa lo? Kesambet?” Tanyanya sambil melambaikan tangannya tepat di depan mukaku.
Kuberi tanda dengan jari telunjuk menunjuk kearah orang yang kusebutkan tadi. Ia memicingkan matanya menelusuk dengan seksama orang yang kutunjuk tadi. Ia pun seketika ikut mematung.
“hei kalian berdua, kenapa sih pada bengong? Apa yang kalian lihat sih? Sampe serius begitu. Kayak lihat bidadari ajah.” Ucap Shania yang sama sekali tidak tau apa yang sedang kami pikirkan.

#ToBeContinued

Maaf kalo nggak dapet feelnya, alurnya nggak jelas da nada typo. Makasih buat yang mau baca. Silahkan tinggalkan komennya maupun kritikannya. Satu komen berharga buat kami… :)