Mencintai Tak Harus Dicintai Part 1

Hallo sahabat KSJ48, ini Two-Shot Pertama di blog ini. Moga aja kalian suka sama tulisan ane yang bergenre romance ini. Happy Reading :v

Diskriminasi, perbedaan suku, adat istiadat. Itulah yang aku rasakan saat aku melanjutkan sekolahku di Bandung. Bandung yang dikenal dengan mayoritas suku sunda.

Aku sendiri berasal dari solo, yang notabenenya adalah keturunan orang jawa. Selain bahasa daerahku, aku juga bisa berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Seperti umumnya orang jawa, bahasa Indonesiaku berbeda dengan teman-teman sekelasku. Logat jawa yang masih kental mempengaruhi pelafalan bahasa Indonesiaku. Diperparah dengan teman sekelasku yang suka menggunakan bahasa sunda, hanya beberapa yang sama denganku menggunakan bahasa nasional. Aku sama sekali tidak bisa bahasa daerah ini.

Dikelas aku menjadi pendiam, jarang ada yang menyapaku, ada juga mereka-mereka yang ngehina logat jawaku ini. Aku suka disebut neng medok. Aku tidak mengerti apa kata neng itu, mungkin itu bahasa daerah mereka, tapi kata medok aku tau betul.

Telinga ini sudah terbiasa dengan cemoohan cara berbicaraku. Aku sering dibela guru, didepan guru mereka seolah menyesal dan meminta maaf, tapi dibelakang ?, sama saja mereka masih menyebutku dengan neng medok. Hahh. Sudahlah.

Aku duduk dikelas 10 B. Sekolahku dikhususkan untuk kelas IPS, tak ada yang kelas IPA. Jadinya kami sering menyingkatnya.

"Andela Yuwono"
"Hadir bu"

Aku mendengar dan melihat saat aku diabsen oleh guru, banyak diantara mereka yang disebut teman sekelas menahan tawa, meski sekilas masih terdengar suara pekikan tawanya.

Kondisi ini membuatku tak banyak bicara, aku harus berhati-hati, salah-salah aku mengeluarkan bahasa jawaku. Bukannya aku tak cinta bahasa daerahku, namun olok-olokan mereka membuat hati ini tak kuat menahan malu.

Aku memang satu-satunya gadis keturunan Jawa di sekolahku. Ada sisi baiknya dari keadaan ini, aku jadi lebih giat belajar, karena aku tidak ingin bergantung kepada teman-temanku dalam hal tugas ataupun ulangan.

Sebelum pindah ke kosanku, aku sering menanyakan kepada kedua orang tuaku, "pah, logat jawaku masih ada gak sih ?" ucapku ditengah makan malam bersama keluarga. "Udah mendingan kok ndel" disudahinya dengan senyuman. Andaikan teman-temanku mengatakan hal yang sama, mungkin aku tidak akan kesepian seperti ini.

Untung saja Tuhan menganugrahiku mental yang kuat. Aku tidak pernah sekali pun menangis dikamar, tak pernah meratapi nasib, aku lebih menghadapi kenyataan hidup ini.

Pernah aku melawan mereka saat membullyku, jadinya tambah parah, mereka terus mengolok-olokku dengan lebih parah.

"Wah, aya neng medok yeuh" aku sudah bilang, aku tidak mengerti bahasa sunda. "Kalian bisa minggir nda ?" mereka menghalangi jalanku saat menuju kantin. "Nyantai atuh neng, emang mau kemana sih ? Mau diantar nda ?" mereka meniru logat jawaku yang kalo dikatakan mereka terasa menjijikan.

"Aduhh, minggir dong, aku laper nih" aku mencoba menerobos mereka namun sepertinya mereka belum puas mengolok-olokku. "Aa anterin yuk" ucap salah seorang murid lelaki yang menghalangiku. Tangannya mencoba meraih tanganku.

Plakk

Tangannya ditampik seseorang. Aku melihat kearah cowok yang lebih tinggi dariku, ia berdiri dibelakangku. "Woii, die bilang kagak mau" suaranya gagah ku dengar.

"Eh, aluth. Punten a" wajah mereka cengar-cengir sambil pergi meninggalkanku dan lelaki yang menyelamatkanku.

"Dasar, kite kan seangkatan. Masih aje nyebut aa" dirinya tampak kesal. "Matur nuhun kak, udah nolongin aku" aku sedikit menundukan kepala. Ia tersenyum kearahku "lo yang namanye Andela yeh ?" ia mencoba menebak namaku sambil mengayun-ayunkan jari telunjuknya. "Iyo kak" jawabku singkat.

"Eh, jangan panggil kakak, kite seumuran lagi" Eh. Beneran ?. Tapi dilihat dari postur tubuhnya yang tinggi, mungkin dia kelas 11 atau mungkin 12 ?. "Maaf, abisnya kamu tinggi banget" logatku masih keluar.

Ia menggelengkan kepala dengan senyuman diwajahnya "gw tuh kelas 10 E lho, seumuran same elo". Aku sedikit tak percaya akan ucapannya. "Nih kalo kagak percaye, liat aje kartu pelajar gw". Dan setelah melihat kartu pelajarnya aku percaya, tertera dia duduk dikelas 10 E.

"Tapi kok aku jarang liat kamu yah ?" memang ini hari pertamaku bertemu dengannya. "Elo sih yang jarang gaul, yaudeh gw kesana dulu yeh" ia menepuk pundakku lalu meninggalkan ku yang masih terdiam.

Tadi siapa namanya ? Lulut ? Lutut ?. Ahhh kenapa aku jadi penasaran sama dia ???. Dan kenapa dia bisa tau namaku ?. Perkataan dia memang benar, aku jarang sekali keluar kelas, atau bergaul dengan yang lain, sekali keluar aku hanya memuaskan lapar dan dahagaku.

*~~~*

Hampir 6 bulan berlalu, namun aku belum pernah bertemu kembali dengan cowok tinggi itu. Bahkan sampai aku naik ke kelas 11. Rasa penasaranku kepadanya juga sudah memudar. Berhembus kabar, bila nanti akan ada pengacakan kelas kembali, itu artinya aku akan mendapatkan teman baru, meninggalkan teman lamaku yang selalu membullyku.

Aku masuk ke kelas 11 J. Semoga saja aku mendapatkan teman yang bisa menerima logatku yang masih ada ini.

Hari ini adalah hari pertama, seperti biasa aku selalu duduk dibelakang, untuk menghindari perhatian, atau tangan jahil yang selalu menghantuiku kalau aku duduk didepan.

"Andela Yuwono"
"Hadir bu"

Ada diantara mereka yang masih mentertawaiku, kali ini ada juga  yang tidak mempermasalahkan logatku. Aku senang mungkin akan ada teman yang tidak mempermasalahkan logatku.

Guru yang berada didepan, terus mengabsen siswa kelas 11 J, "Luthfi Wahyudi". Tak ada respon, ia mencoba mengulanginya, masih tak ada respon.

"Gak masuk kali bu".

Sreeettt

Pintu dibuka oleh seseorang. "Maaf bu, saya terlambat" nadanya begitu sopan dan ramah, mungkin agar tidak terkena amukan guru itu.

"Kamu yang namanya Luthfi ?" guru itu menunjuk kearahnya dengan tatapan tajam. "Iya bu" ia mengelus bagian belakang kepalanya diiringi dengan senyuman. Wajahnya tak begitu jelas aku lihat, karena sedang memandang ke guru itu.

"Ibu tidak mau dengar alasanmu, yang jelas kamu udah telat 15 menit. Kamu ibu hukum push up 15 kali". Murid lelaki itu melangkah masuk dan aku terkejut, ternyata dia adalah lelaki yang pernah menolongku waktu itu.

Hati ini yang galau karena ada kemungkinan suasana kelas akan sama saja. Namun entah kenapa setelah mengetahui aku sekelas dengan lelaki yang bernama Luthfi itu, hati ini terasa tentram.

Dia menyelesaikan hukumannya dengan cepat, nafasnya agak terengah-engah dan kepalanya mulai dibasahi keringat. "Sekarang kamu boleh duduk" ucap guru itu, ia lalu melanjutkan mengabsen murid setelah Luthfi.

Lelaki tinggi itu tampak kebingungan mencari tempat duduk yang kosong, matanya melihat ke kiri ke kanan sampai berhenti saat melihatku, senyuman tiba-tiba hadir diwajahnya. Ia setengah berlari menghampiriku. "Ee.. Boleh duduk disini ?" tanyanya ragu, ditambah dengan nafasnya yang belum normal.

"Boleh, boleh" aku mengizinkannya, mungkin dia bisa menjadi temanku. Sejak aku sekolah disini, ini adalah hari pertamaku mendapatkan teman sebangku. Mereka enggan sebangku denganku, enggan berbicara biasa denganku, sukanya mengolok-olokku, karena logat jawaku ?. Pemikiran yang sungguh dangkal.

"Untung aja, cuman telat 15 menit" ucapnya sambil mengelap keringatnya dengan sapu tangan yang ia bawa. "Kamu telat kenopo toh ?". Emosi kesalku kembali keluar saat mendengar Luthfi mentertawakan logat jawaku.

"Luthfi, diam" bentak guru yang ada didepan, ia sudah selesai mengabsen murid. Keadaan berbalik, jadi aku yang mentertawakannya dan dia jadi diam.

Guru itu mulai memperkenalkan dirinya, dilanjut dengan pembahasan materi. Kami tidak berbicara kurang lebih selama 20 menit, sampai dia memulai obrolan "lo suka minder yeh, kalo diledek logat jawa lo ?" dia kok bisa tau kalau itu yang aku rasakan ?. Aku memilih untuk diam.

"Nyantee ajee kalee, gw juga anak betawi bukan asli orang sini" aku melihat kearahnya, pandangan Luthfi begitu lurus ke depan memperhatikan guru yang sedang menerangkan materi. Memang, logat betawinya terdengar sekali.

"Gw juga sering diledek gare-gare logat betawi gw, katanye kayee preman pasar tanah abang". Tak tau kenapa aku tidak bisa menahan tawa mendengar ucapannya.

"Gw juge kagak ambil pusing same orang yang ngeledek gw". Dia ada benernya sih. "Pede aja, kalo kite yang pede, mereka yang bakalan minder".

Aku seperti mendapatkan sirahan rohani darinya. Aku bertekad ingin meniru kepercayaan dirinya. Setelah itu tak ada ucapan lagi yang keluar dari mulutnya. Aku pun memutuskan untuk memfokuskan diri menerima pelajaran dari guru yang berdiri didepan.

*~~~*

Diriku sadar kalau mentalku belum seberapa dibandingkan dengan Luthfi. Aku jadi ingin lebih dekat dengannya.

Lelaki yang tadi duduk disebelahku menghilang entah kemana setelah mendengar bunyi bel istirahat. Aku kira dia mau mengajakku ke kantin. Terpaksa aku pergi ke kantin, sendirian. Aku sudah terbiasa dengan riuh pikuk suasana kantin yang dipenuhi banyak siswa.

Saat aku membawa sepiring bakso ditangan, diri ini kebingunan mencari tempat untuk menyantap makanan yang telah aku beli. Mataku menangkap pergerakan tangan melambai kearahku. Dia adalah Luthfi, sebuah kursi kosong disebelahnya, mungkin ia menyuruhku untuk duduk disampingnya. Aku tersenyum kearahnya dan membawa semangkuk bakso dan segelas minuman menuju kursi kosong itu.

"Boleh duduk disini ?" aku mencoba memastikan kalo lambaian tangan itu mengarah kepadaku.

"Iye, duduk aje" ucap Luthfi sambil menahan tawa. Duuhh. Dia kenapa sih ?. Muncul sebuah pertanyaan dibenakku. "Kamu kenopo toh, nda suka sama logat aku ?" aku mencoba mengaplikasikan apa yang ia katakan tadi pagi.

"Brrrrssstt...hahahahaha" ketawanya semakin keras, tapi aku tidak mau kalah, aku akan terus melawannya dan tidak akan pergi meninggalkannya karena rasa malu.
"Tenang aja ndel, dia emang seperti itu" aku mendengar seseorang dengan logat yang sama denganku. Aku sejenak meninggalkan Luthfi yang berusaha mengakhiri tawanya, menatap kearah cowok yang berada dihadapanku.

"Piye kabare ?". Aku pikir hanya aku yang berasal dari orang jawa disekolah ini. Aku menjawab pertanyaan itu menggunakan bahasa jawa juga.

"Wess rapopo ndel, Luthfi tuh gak bermaksud ngeledek kamu, dia tertawa karena dia sangat suka dengan logat jawa. Iyo toh fi" pandangannya yang semula menatapku berpaling kearah Luthfi. "Iyee-iyee" masih dengan sisa-sisa tawanya, tangannya sedang mengisik-gisik matanya yang mengeluarkan air mata.

"Maafin gw ye ndel, gw suka gitu, kalo denger logat jawa bawaannye kepengen ketawe terus" Luthfi menjelaskan sikapnya yang sebelumnya tak aku mengerti.

"Oh iya, ini sahabat gw, kenalin yang didepan elo  namanye anto" tangannya mengarah ke Anto. "Houuh, terus kalian tau namaku dari siapa ?" aku mulai tidak memperdulikan logat jawaku.

"Siapo yang indak tau sama neng medok ?". Eh ?. Bahasa mana itu ?. Aku rasa aku pernah mendengarnya. Aku melirik kearahnya, dia melemparkan senyum kepadaku. "Oh, iya ni temen gw satu lagi, namanye Shani. Gw sih suke nyebut uni" Luthfi memperkenalkan temannya yang baru datang.

"Kenalin namo ambo Shani, panggil aja uni" ucapnya dengan logat yang sama. Uni, kalo gak salah, itu bahasa minang deh. "Kamu dari padang ?" tanyaku mencoba memastikan. "Iyoo, ambo dari padang".

Aku berjabat tangannya sejenak, dan memperkenalkan namaku pake bahasa daerahku. Kami berempat menyantap makanan bersama, dimeja yang sama.

*~~~*

Aku tak menyangka, sebutan neng medok sudah populer, banyak yang mengetahuiku. Padahal aku tidak pernah bergaul, jarang keluar kelas, dan hanya novel karya raditya dika yang selalu menemaniku.

Aku juga tak tau, apa ini takdir tuhan atau apa ?. Orang betawi, padang , dan jawa bersatu dalam satu kelompok pertemanan. Sungguh unik.

Aku bertanya kepada Luthfi saat sudah berada dikelas kembali, "kamu udah lama temenan sama mereka". Aku melihat tatapannya begitu serius memperhatikan guru, namun ia tidak mengacuhkanku.

"Gw temenan same mereka pade, udah setahun". Ohhh. Mungkin mereka sekelas saat masih duduk di kelas 10 E. Aku tidak ingin menganggu konsentrasinya, aku memutuskan melakukan hal yang sama seperti Luthfi.

Akhirnya, otakku bisa diistirahatkan setelah mendengar bel pulang berbunyi. Aku membereskan buku dan alat tulisku dan memasukannya ke dalam tas.

"Elo disini ngekos ?" tanya Luthfi saat selesai membereskan barang-barangnya. "Iyo, aku ngekos. Aku duluan yah, takut ketinggalan bus" memang aku menggunakan bus damri.

Aku beranjak dari dudukku, berjalan cepat, namun belum juga dua langkah, ada tangan yang memegang tangan kiriku. "Gw anterin mau ?" ajaknya, lembut sekali.

"eu..n..ndak..u..sah. Aku bisa naik bus kok" tolakku, entah kenapa bibir ini bergetar, jantung ini berdetak lebih kencang dari biasanya, mataku tak berkedip terus menatap ke matanya.

"Ayo, gw anterin, kite kan udah jadi temen" dia memaksakan kehendaknya. Aku sedikit kaget mendengar ucapannya. "Tapi..."

"Dah, ayo. Jangan banyak alesan" dia menarik tanganku, namun kenapa diri ini tidak menolaknya ?. Aku pasrah dituntun oleh Luthfi menuju parkiran. Aku masih memikirkan kalimat Luthfi yang menganggapku teman. Tapi kenapa nggak coba ?. Dia kan beda sama temen sekelasku yang lain .

"Ayo naik" ia sudah memakai helm, dan menaiki motornya. Perlahan, aku naik dibelakangnya. "Siap ?" wajahnya yang tertutupi helm menoleh kearahku. Aku mengiyakan pertanyaan Luthfi. Mesin motor menyala, dan kami berdua berkemudi ria di jalan raya.

Dia seperti Valentino Rossi saja, memacu motornya begitu cepat, melewati beberapa mobil dengan mudah. Situasi ini membuatku harus memeluk tubuhnya erat sekali. Gak tau malu ?. Abisnya mau gimana lagi, daripada aku jatuh ?, mending aku meluk temen baruku ini.

"fi, pelan dikit dong, aku takut iki" aku mencoba membujuknya. Tak ada jawaban. Mungkin angin kencang dan telinganya tertutup helm, menghalangi pendengarannya.

Aku mencoba mengulangi ucapanku dengan nada yang lebih keras. "Hahh ape ? Pisang goreng ?". Hahh. Dia malah ngaco.

Sreeeetttttt

Tubuhku semakin melekat dengannya karena Luthfi mengeram motornya. Baru pertama kali aku dibonceng lelaki, cepat banget. Aku merapihkan rambutku yang acak-acakan akibat berkendara tadi. Aku sudah sampai di alamat yang aku beri tau pada Luthfi. Alamat itu adalah lokasi kosanku. Aku turun dari motornya "Matur nuhun fi, udah nganterin aku".

"Iye, same-same ndel" aku tak bisa melihat wajahnya, dia tidak membuka helm fullfacenya.

"Yaudeh, gw duluan yee" ia kembali menstater motornya dan lagi, memacu motornya dengan kencang.
Sungguh hari pertama yang sangat mengesankan. Aku melemparkan tasku, entah kemana. Aku menghempaskan tubuhku ke kasur empuk ini, mencoba mengurangi rasa lelah yang menghinggapi ditubuh ini.

Aku menarik nafas sedalam-dalamnya lalu menghembuskannya ke udara lepas. "Akhirnya aku mendapatkan temen yang bener-bener nganggep aku. Satu anak betawi, satu anak minang, satu lagi sama kayak aku".

*~~~*

Hari berikutnya dan seterusnya aku berkumpul dengan Luthfi dan teman-temannya. Entah itu saat dikantin atau sepulang sekolah. Aku jadi lebih berani dan nggak minder lagi. Buat apa minder coba ?.

Mereka juga sering main ke kosanku. Itu juga kalo ada uni sih. Kami sering bermain bersama, entah itu menemani Luthfi dan Anto yang suka main basket, atau jalan-jalan ke mall. Pokoknya hidupku 180 derajat berubah, saat aku mengenalnya.

Hari ini, Luthfi main ke kosanku, lebih tepatnya lagi mengerjakan tugas kelompok. Aku dan dia satu kelompok yang diharuskan membuat sebuah karya seni dari kertas bekas. Sebelum ke kosanku, aku dan dia membeli beberapa koran bekas dan peralatan lainnua seperti gunting dll.

Sreettt

Aku membuka pintu kosan, dan mempersilahkan Luthfi masuk. Ini adalah pertama kalinya dia main ke kosanku tanpa membawa kedua temannya. Tapi aku yakin dia tidak akan macam-macam.

"Kita mau bikin apa fi ?" tanyaku saat melihat tumpukan koran dan kardus bekas. "Pegimane kalo kite buat boneka dari kertas ?" tawarnya, aku sedikit mengerutkan keningku.

"Emang kamu bisa bikinnya ?" aku sedikit tak percaya. "Aku sih nda bisa" memang aku tidak pernah membuat kerajinan seperti ini.

"Et dah, belum juga dicoba udeh bileng kagak bise" ujarnya kesal. Dia mengetik sesuatu di hpnya. Entah apa, mungkin dia sedang membalas sms dari temannya.

"Nih, gw nemu tutorialnyee" ia melihatkan layar hpnya didepan mataku. "Tutorial membuat boneka dari kardus dan boneka kertas" aku membaca judul postingan blog tersebut.

"Ikutin aje nih blog" ucapnya begitu percaya diri. Dia mengambil sebuah kardus, lalu mencoba menggambar pola yang sama seperti yang diajarkan blog.

Dia begitu telaten mengikuti setiap langkah-langkahnya. Aku pun tak mau kalah, aku juga ingin membuat boneka kreasiku sendiri.

"Gw ngerjain disini yee, nanti elo nurutin karya gw lagi" Luthfi mengambil sebagian bahan-bahan dan berpindah ke sisi yang agak jauh, posisinya memunggungiku.

Aku masuk ke dalam langkah pembuatan, dimana aku sedang menghiasi bagian kardus yang akan ku jadikan sebagai badan boneka. Aku mencoba menggambar sebuah dress.

Aku ingin kreasiku lebih bagus dari Luthfi. Aku begitu rinci menggambar setiap bagian baju. Tanpa ku sadari, kelopak mataku tertutup sendiri, aku kehilangan keseimbangan sejenak. Ku lihat Luthfi masih sibuk dengan kerjaannya. Ahh. Mungkin ini efek dari semalam, aku tidur jam 10 malam gara-gara nonton dorama Jepang.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Apaan toh fi, aku masih ngantuk iki" tidurku terganggu karena Luthfi menggoyang-goyangkan tubuhku yang tertidur diatas meja. Mataku masih tertutup, aku setengah sadar berucap tadi.

"Pindah ke kasur sanee" aku sudah tak sanggup berucap, mata ini masih mengantuk, akhirnya aku kembali ke alam mimpi.
Aku merasa ada seseorang yang mengangkat tubuhku, mungkinkah itu Luthfi ?. Tubuhku juga merasakan kasur dan bantal empuk. Ah sudahlah, aku sudah mengantuk.

*~~~*

Kesadaran ini kembali kudapatkan setelah beberapa jam terlelap dalam tidur. Perlahan, aku bangun, duduk dengan mata masih terpejam. Mataku mulai terbuka kembali, aku menguap sejenak.

"Aduhh, piye iki. Aku belum selesai bikin boneka" aku wes panik. Aku mencari boneka yang belum rampung aku selesaikan. Mata ini menangkap sebuah boneka kertas yang terletak diatas meja. Aku mendekat ke meja yang tak jauh dari kasurku, "Ayu tenan iki" meskipun hanya boneka, tapi menurutku boneka ini sangat cantik.
Didepannya ada sebuah potongan kertas. "Buat, neng ayu dari preman pasar tanah abang :v". Haha preman pasar. Jadi dia yang buat ini, aku harus berterima kasih padanya besok.

Waktu bergulir dengan cepat, aku sudah berada dikelas, menunggu teman sekelasku yang belum datang. Lelaki bertubuh tinggi masuk ke kelas, ya itu adalah Luthfi. Seperti biasa dia duduk disampingku. "Gimane ndel ? Elo sukee kagak sama boneka yang gw buat ?" tanyanya dengan penuh semangat.

Aku mengangguk dengan penuh gairah "aku suka banget fi, mirip kayak aku". Iya tersenyum bangga mendengar ucapanku. "Syukur dah kalo gitu".

Guru yang menugaskan kami membuat sebuah kreasi barang bekas masuk ke kelas. Dengan rasa percaya diri aku mengumpulkannya bersama teman sekelasku yang lain. Dia menilai karyaku yang diselesaikan oleh Luthfi.

Setelah itu aku disuruh mengambilnya lagi sebagai kenang-kenangan.

Diwaktu istirahat, aku seperti biasa berkumpul dengan Luthfi, Anto, dan Uni. Kami berkumpul di satu meja sambil memakan pesanan kami masing-masing.

Kebiasaan Luthfi yang lain, ia jarang berbicara saat makan, meskipun disekitarnya ada teman-teman yang bisa diajak berbicara. Posisi dudukku dengannya berhadapan.

Aku bisa melihat ia mengunyak nasi goreng pesanannya dengan perlahan tapi pasti. Mata ini tak bisa ku palingkan dari dirinya, entah mengapa aku sangatlah nyaman bila didekatnya. "Hahh, Luthfi...." gumamku dalam hati.

"Ndel, kamu kenapo ngelamun kayak gitu ?" Uni Shani yang berada disampingku membangunkanku dari lamunan cinta (?) ini. "Eh, gk apa-apa kok uni" jawabku agak gelagapan.

"Ambo tau, kamu suko yah sama Luthfi ?" wajah curiga terpancar, jari uni Shani menunjuk kearahku. Ku lihat tatapan Anto dan Luthfi mengarah kepadaku. "Ee. Ada opo toh ?" tanyaku pura-pura polos.

"Gak, kagek ade ape-ape" jawab Luthfi lalu ia meneruskan mengisi perutnya. Anto juga melakukan hal yang sama. Mungkinkah diri ini mencintai teman yang belum lama aku kenal ini ?.

Dalam hati ada yang menolak ungkapan tersebut, namun diri ini dan sisi hati lain mengatakan benar. "fi, sejak Andela gabung sama kita, kita belum pernah foto bareng deh" ucap Anto setelah menelan suapan terakhirnya.

"Haha, iyee juge sih. Yaudeh disini ajee" tampak Luthfi juga sudah selesai makan nasi gorengnya. Aku dan Shani langsung menyetujui usulan Anto tersebut.

Kami menyelesaikan makan siang kami. Tanpa melihat situasi kantin yang agak penuh, aku dan yang lainnya sudah bersiap-siap. Anto meletakan Hp didepannya, tengah-tengah meja.

Aku bergaya dengan senyum semanis mungkin, daguku kutahan dengan tangan kanan dan mataku melihat ke arah kamera. Uni Shani melakukan hal yang sama denganku, sedangkan si Anto ?, tak tau aku tak begitu memperhatikannya.

Perhatianku tertarik oleh Luthfi. Posisi wajahnya agak didekatkan padaku. Tangan kananya menahan badannya agar tidak jatuh.

"Siap"

"1....2...3.."

"Aduh"

"Aww"

Cklrekk

Posisiku menjadi berantakan karena, wajah Luthfi menimpa sisi kanan pipiku. "Maap ndel, kagak sengaje gw" dia langsung meminta maaf saat melihatku sedang mengelus bagian kepalaku yang sakit.

"Wes, aku rapopo kok" jawabku, memang benturan itu tak terlalu menyakitkan. Uni dan Anto hanya tersenyum melihat foto yang tadi.

"Coba aku liat hasilnya to" tanganku mengambil secara paksa Hp Anto. Kulitku memerah, dada ini serasa sesak karena malu. Aku melihat wajahku begitu melekat dengan wajah Luthfi, ekspresi kami sudah tak beraturan. Mataku merem, bibirku agak manyun dan sebelah pipiku ditimpa pipi Luthfi. Haha niat gaya malah gini jadinya.

"Haha, muka lo lucu banget ndel" Luthfi melihat foto itu dari samping kiriku. "Haha, Iya kamu juga lucu" aku ikut tertawa. Pada akhirnya Anto membagikan foto itu ke Hp aku, Luthfi, dan Uni, lewat bluetooth.

Pulang sekolah, aku mampir ke photo studio untuk mencetak foto tersebut, sekalian beli figuranya biar tambah ayu. Hehe.

#ToBeContinued

Untuk cerita yang lebih menarik lainnya, anda bisa lihat disini
Silahkan Berkomentar!
Terima kasih

Previous
Next Post »